Berkuasa Lantaran Dukungan Militer, Tiga Cara Presiden Soeharto Mempertahankan Kekuasannya
- Puristian Jiwa Permana
- 27/01/2022
- 17:58
Cililinku-Tetap hari ini Kamis 27 Januari 2022 Presiden Soeharto mengenang 14 tahun wafatnya.
27 Januari 14 tahun silam menjadi sejarah bangsa indonesia lantaran presiden ke-2 Republik Indonesia wafat.
Tutut Soeharto dalam cuitan akun twitter @TututSoeharto49 pada 27 Januari 2022 memohon doa agar Almarhum ayahnya diampuni dari kesalahan, diterima amal baiknya, dan diberi tempat terbaik disisi-Nya.
Baca Juga: Nonton Streaming Kaget Nikah Episode 8, Klik Linknya Disini!!!
Dia juga mendoakan, semoga bangsa Indonesia berada dalam curahan rahmat, lindungan, dan ridho Allah SWT.
Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto adalah presiden kedua Republik Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998. Ia menggantikan Presiden Soekarno.
lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta pada 8 Juni 1921.
Lantas, bagaimana sepak terjangnya semasa hidup? Soeharto adalah anak dari Sukirah dan Kertosudira yang memulai kariernya di dunia militer pada tahun 1942 saat diterima menjadi tentara KNIL.
Saat Belanda hengkang dari Indonesia, Soeharto bergabung dengan PETA, kesatuan militer bentukan Jepang di Indonesia. Dari sana, Soeharto terus melanjutkan kariernya di militer hingga Indonesia merdeka.
Karier Soeharto mulai terlihat saat situasi politik Indonesia yang bergejolak di tahun 1965. Ia pun ditunjuk sebagai pejabat presiden lewat Sidang Istimewa MPR pada 7 Maret 1967 dan terpilih menjadi presiden oleh MPR lewat hasil pemilu.
Berdasarkan hasil Sidang Umum MPRS pada 27 Maret 1968, Soeharto pun menjadi presiden. Setelahnya, ia terus menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia sampai 32 tahun. Kisah dan Kontroversi Soeharto Salim Haji Said dalam buku “Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto” menuliskan, modal utama Soeharto dalam berkuasa adalah dukungan militer dan memanfaatkan kemarahan rakyat kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ia sadar tidak punya karisma dan pengalaman politik seperti para pendahulunya. Hal ini yang membuatnya yakin kalau kekuasaannya hanya akan bertahan apabila pesaingnya di kalangan militer harus segera disingkirkan. Maka daripada itu, usai “membereskan Sukarno”, ia memakai tiga cara untuk mempertahankan kekuasaannya.
Baca Juga: Ikatan Cinta Hadir di Malaysia, Tengok Disini Buat Jadwal Lengkap Tayangannya
- Menyingkirkan semua Perwira yang berorientasi kiri dan Sukarnois
- Mempromosikan para jenderal yang dianggap tidak berpotensi memakai tentara untuk melawannya
- Menyingkirkan para pendukung yang berjasa untuk kemenangan politik Soeharto dari posisi berpengaruh, terutama mereka yang menonjol di masyarakat dan dianggap memiliki agenda sendiri.
Selama masa Orde Baru, semua partai dilebur menjadi tiga bagian, yakni Golkar, PDI dan PPP. Golkar adalah partai yang dibangun militer untuk menjadi kendaraan politik mereka.
Tugas partai ini, dulunya untuk menduduki sebanyak mungkin kursi di DPR untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto. Sementara PDI dan PPP hanya menjadi kelompok politik hasil fusi sejumlah partai yang direkayasa oleh kekuasaan.
Kedua partai ini, disebut oleh Salim Haji Said, hanya berfungsi menjadi “pelengkap penderita” di atas pentas politik yang dikuasai Soeharto.
Selain itu, orang-orang yang dipandang kritis kepada kekuasaan juga dipastikan tidak akan pernah bisa menemukan anak tangga karier di panggung politik.
Semua yang mendapatkan izin untuk memperebutkan kursi di DPR dan MPR harus “steril” setelah difilter oleh Peneliti Khusus (Litsus) penguasa.
Namun, akibat krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan 1997, masa kekuasaan Soeharto mulai terkikis. Ketika krisis menghantam, Soeharto tak berkutik.
Indonesia bahkan harus menerima bantuan IMF untuk memulihkannya. Dalam masa-masa itu, Soeharto mencoba mewujudkan tuntutan reformasi dengan membentuk Komite Reformasi dan merombak kabinet.
Baca Juga: Kang Daniel Batal Tampil di Gaon Music Awards, Para Fans Ramai-ramai Berdoa, ADA APA?
Namun, semua usaha itu sia-sia. Tuntutan agar Soeharto mundur terus bergema, bahkan berujung pada demonstrasi, terlebih para mahasiswa yang disebut sebagai ujung tombak perlawanan.
Empat nyawa mahasiswa melayang akibat ditembak aparat. Demo pun semakin meluas dan memburuk. Peristiwa Mei 1998 menjadi catatan kelam sejarah Indonesia. Soeharto akhirnya mundur pada 21 Mei 1998, bertepatan dengan 70 hari setelah ia terpilih menjadi presiden untuk ketujuh kalinya.
Ia digantikan oleh wakilnya, BJ Habibie. Orde Baru berakhir. Muncul tuntutan untuk pengusutan dan pengadilan atas Soeharto. Pada 3 Desember 1998, BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera memeriksa Soeharto.
Seminggu kemudian, Soeharto diperiksa Kejaksaan Agung sehubungan dengan dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan di luar negeri, hingga kasus Tapos.
Namun, Soeharto tidak pernah benar-benar diadili. Pada 12 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) untuk perkara Soeharto dengan alasan kondisi fisik dan mental yang bersangkutan tidak layak diajukan ke pengadilan.
Soeharto tutup usia pada 27 Januari 2008 atau hampir 10 tahun setelah mundur dari jabatannya sebagai presiden kedua Indonesia.
Soeharto dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo. Soeharto meninggalkan enam anak, dari hasil pernikahannya dengan perempuan berdarah ningrat, Raden Ayu Siti Hartinah. Terlepas dari segala kontroversinya, ada banyak juga yang memuja dan memujinya, bahkan menyebutnya sebagai “Bapak Pembangunan Republik Indonesia”.(berbagai sumber)***