Alasan Sayyidah Aisyah Mengqadha Puasa Ramadhan di Bulan Sya’ban
- Gilang Fathu
- 11/03/2022
- 05:30
Cililinku, -Tidak lama lagi kita sebagai umat muslim akan berjumpa kembali dengan bulan suci Ramadhan.
Sayyidah Aisyah Radlhiyallahu anha meruparan diantara orang yang jika mempunyai utang puasa, selalu ia tunaikan ketika sudah berada pada bulan Sya’ban seperti yang diceritakan Abu Salamah dari Aisyah langsung:
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ»، قَالَ يَحْيَى: الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Baca Juga: Kecerobohan Mama Sarah Bikin Nyawa Keysa Terancam, Ricky Datang Tepat Waktu Selamatkan Anak Elsa
Artinya: “Saya mempunyai tanggungan utang puasa Ramadhan. Saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban. Menurut Yahya, Aisyah mengqadha di bulan Sya’ban dikarenakan ia sibuk melayani Nabi Muhammad ﷺ” (Muttafaq alaih).
Mengutip dari islam.nu.or.id, hadits tersebut menjelaskan bahwa Aisyah mengqadha puasa pada tenggat yang sangat mepet.
Menurut catatan kaki Syekh Musthafa Dib al-Bugha dalam kitab Shahih al-Bukhari dan catatan kaki Muhammad Fuan Abdul Baqi para kitab shahih Muslim, kesibukan Aisyah adalah ia selalu menyiapkan diri sepenuhnya untuk Rasulullah termasuk di dalamnya yaitu mempersiapkan diri jika Rasulullah sewaktu-waktu ingin berduaan dengan Aisyah.
Ibnu Hajar al-Asqalami menyebut jika kesibukan dalam hadits ini tidak berarti sebuah kesibukan yang menjadikan seorang tidak kuat melaksanakan puasa tapi lebih mengarah pada posisi selalu mempersiapkan diri dalam menyenangkan rasul.
Dengan latar belakang tersebut, para istri Nabi tidak pernah meminta izin untuk berpuasa karena khawatir di antara mereka ada yang sedang dibutuhkan oleh Rasulullah ﷺ secara mendadak. Padahal seumpama mereka meminta izin, Rasul pasti tidak akan mengecewakan istri-istrinya, tapi para istri menjadi khawatir hal tersebut bisa mengurangi kecintaan dan dan pelayanan terhadap kebutuhan Nabi menjadi tidak penuh.
Lantas mengapa bulan Sya’ban dipilih oleh Aisyah untuk mengqadha puasanya? alasannya karena bulan Sya’ban adalah bulan yang paling banya dibuat puasa sunna oleh baginda Nabi Muhammad.
Oleh karena itu, salah satu istri Nabi bergantian meluangkan waktu untuk mengqadha puasa.
Baca Juga: Andin Sedih Askara Tak Kunjung Membaik, Al Coba Kuatkan Istrinya
Syekh Musthafa Dib al-Bugha menulis:
وأما في شعبان فإنه صلى الله عليه وسلم كان يصوم أكثر أيامه فتتفرغ إحداهن لصومها أو تضطر لاستئذانه في الصوم لضيق الوقت عليها
Artinya: “Adapun pada bulan Sya’ban, Nabi berpuasa pada sebagian besar hari-harinya. Kemudian salah satu istri-istri Nabi meluangkan untuk berpuasa di dalamnya. Atau di antara mereka memang terdesak untuk meminta izin kepada Nabi untuk melaksanakan puasa karena waktunya sudah mepet” (Musthafa Dib al-Bugha, Ta’liq Shahih al-Bukhari, [Daru Thuqin Najah, 1422], juz 3, hal. 35)
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadits di atas juga menunjukkan bahwa Aisyah tidak pernah melakukan puasa sunnah. Aisyah berpandangan bahwa puasa sunnah bagi orang yang mempunyai tanggungan puasa wajib hukumnya tidak diperbolehkan sedangkan ia mulai bulan Syawal sampai bulan Rajab masih mempunyai utang puasa wajib.
قَوْلُهُ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ اسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ لَا تَتَطَوَّعُ بِشَيْءٍ مِنَ الصِّيَامِ لَا فِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَلَا فِي عَاشُورَاءَ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّهَا كَانَتْ لَا تَرَى جَوَازَ صِيَامِ التَّطَوُّعِ لِمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ رَمَضَانَ
Artinya: “Penjelasan tentang redaksi ‘Saya tidak mampu menunaikan qadha puasa tersebut kecuali di bulan Sya’ban.’ Menunjukkan bahwa Aisyah tidak pernah melakukan puasa sunnah sekali pun baik 10 hari bulan Dzul Hijjah, tidak pula 10 hari di bulan Asyura’ dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan pandangan Aisyah yang menganggap puasa sunnah bagi orang yang masih mempunyai tanggungan puasa Ramadhan hukumnya tidak diperbolehkan.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari li Ibni Hajar, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1379], juz 4, hal. 191)
Penyataan Ibnu Hajar ini berbeda dengan beberapa ulama yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan puasa karena sembrono (tidak karena uzur), maka qadlanya harus sesegera mungkin. Berbeda apabila disebabkan uzur, qadhanya boleh ditunda-tunda selama tidak sampai Ramadhan berikutnya. Adapun mempercepat waktu qadha hukumnya sunnah. Abu Bakar Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar mengatakan:
Baca Juga: Persib Bandung Terus Bayangi Bali United, Robert Alberts: Kami Tetap di Jalur Juara
وَالْقَضَاء الَّذِي على الْفَوْر هُوَ الَّذِي تعدى فِيهِ بالإفطار فَيحرم تَأْخِير قَضَائِهِ وَالَّذِي على التَّرَاخِي مَا لم يَتَعَدَّ فِيهِ كالفطر بِالْمرضِ وَالسّفر وقضاؤه على التَّرَاخِي مَا لم يحضر رَمَضَان آخر
Artinya, “Puasa yang harus segera diqadha adalah puasa yang dibatalkan dengan sembrono (sengaja dan tanpa uzur). Qadha puasa seperti ini haram ditunda-tunda. Adapun puasa yang tidak harus segera diqadha adalah puasa yang dibatalkan tidak disebabkan sembrono (karena uzur), yaitu pembatalan puasa karena sakit atau perjalanan Qadha puasa seperti ini boleh ditunda selama belum datang Ramadhan berikutnya,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Damaskur: Darul Khair, 1994 M], juz I, hal. 207).***